Rainbow

Rainbow, Pelangi, seringkali datang atau muncul setelah hujan. Bentuk dan warnanya selalu sama. Cantik.
Begitu pula yang akan saya bagikan dan Anda baca di sini. InsyaAllah selalu membawa arti, setelah mungkin ada gerimis, hujan, atau bahkan badai dalam hidup Anda. Semoga semua tulisan ini dapat mencerahkan Anda seperti Pelangi, membawa makna baru, menghadirkan harapan baru.

Jumat, 10 Juni 2011

“ATAS GARIS” atau “BAWAH GARIS” ?

Assalamu’alaikum wr.wb.,

Hai Semua,

Apa kabar Anda sekarang? Semoga selalu semangat dan bahagia ya! 

Kali ini saya akan sedikit membahas mengenai topic yang sangat menggelitik: “Atas Garis” dan “bawah garis”.

Sebelum saya mulai, saya ingin bertanya dulu pada Anda. Apakah Anda saat ini sedang berada pada persimpangan jalan untuk menentukan langkah Anda selanjutnya? Apakah sekarang ini Anda sedang bimbang menentukan pilihan, yang satu tampak berkilau di depan sana, sementara yang lainnya masih belum terlalu pasti, namun rasanya ini adalah jalan yang “Benar” menurut-Nya??

Atau,

Apakah saat ini Anda sangat ingin kaya-raya, bahagia, dan masuk Surga; atau hanya ingin kaya-raya saja, masalah masuk Surga gimana nanti?

Jika jawabannya adalah iya, maka saran saya, Anda baca sampai habis. Semoga bermanfaat. Jika tidak, maksa baca juga sampai habis saja. Sayang kan, sudah terlanjur dibuka :D.

“Atas Garis” adalah suatu kondisi ideal, yang penerapannya memerlukan hati nurani, dan pengetahuan juga tentunya.

Kondisi ideal ini bersumber dari fitrah manusia itu sendiri, yang Subhanallah telah disetel oleh Sang Maha Pencipta, Allah SWT, untuk mampu menyaring semua informasi atau sesuatu yang masuk, dan memisah-misahkannya sesuai hukum-Nya.
Seperti juga tubuh /raga, yang secara fitrah mampu menyaring semua partikel yang masuk ke setiap lubang pada tubuh, dan memisah-misahkannya, atau bahkan mengeluarkannya jika berbeda dengan kebutuhan manusia (co: bersin); maka jiwa pun memiliki kemampuan untuk men-screening semua hal yang masuk ke dalam hati, melalui bantuan fisik, seperti telinga, mata, dan indera lainnya. Kemampuan ini seragam untuk semua makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, yaitu manusia. Yang membuatnya berbeda adalah kemampuan hati untuk mampu “melihat”, “mendengar”, dan “merasa”, bahwa sesuatu hal yang telah di-screening di awal oleh fisik, dapat diterima oleh hati atau sebaliknya.

Kemampuan hati untuk dapat menerima kondisi “Atas Garis” sangat tergantung pada seberapa bersih hati tersebut. Seperti kata sebuah lagu (Bimbo kalau seingat saya), “Hati adalah cermin, tempat pahala dan dosa bersatu.”.
Jika lebih banyak pahala dan kebaikan pada diri manusia itu, tentu hatinya akan bersih (Qalbun Salim) Jika sebaliknya, tentu secara Sunatullah juga akan terasa sebaliknya. Hati menjadi bebal, hanya melihat apa yang tampak saja, dan menolak untuk semua masukan yang benar. Jika ini yang terjadi, maka kondisi “Bawah garis”lah yang terjadi.

Kondisi “Bawah Garis” adalah kondisi sebaliknya dari “Atas Garis”. Semua hal yang sekarang ini makin menjadi permisif di kalangan masyarakat, atas nama, “semua juga begitu, masa aku tidak?”, tanpa menyaring lagi, apakah semua yang “boleh” terjadi itu sesuai dengan ketentuan Allah atau sebaliknya, yang secara fitrah sebenarnya raga dan jiwa kita telah memilah-milahnya.


Lalu seperti apa kondisi “Atas Garis” dan “Bawah Garris” itu?

Ah, saya percaya, Anda semua yang membaca tulisan ini, memiliki hati nurani yang bersih. Pasti Anda tahu seperti apa kondisi “Atas Garis” dan seperti apa kondisi “Bawah garis” tersebut.
Kondisi “Atas Garis” contohnya adalah fitrah manusia sendiri, bersifat jujur, amanah, ikhlas, ridlo, syukur, sabar, tawakal, dan semua hal baik dan benar, yang kita tahu dan rasakan ketenangan serta kenyamanannya. Sementara kondisi “Bawah Garis” adalah curang, khianat, munafik, bohong, korupsi, dan segala macam yang kita tahu merugikan orang lain, dan terasa gelisah jika melakukannya.

Kondisi “Atas Garis” juga berupa kedisiplinan, keramahan, kelembutan, focus, integritas, tegas, memiliki nilai tambah, bisa diandalkan, berpartisipasi 100%, bertanggung jawab, berkomitmen, bersegera, serta mau belajar (learn).

Sementara kondisi “Bawah Garis” juga berupa statis/membiarkan hidup yang mengatur, menyangkal/beralasan, menuding, menunda-nunda, mengeluh, selalu mempertanyakan apa yang bisa didapatnya (earn).


Ilustrasi dari sikap/kondisi “Atas Garis” dan “Bawah Garis”, supaya Anda bisa lebih memahaminya adalah seperti “Jembatan Shirotol Mustaqiim”.

Seperti cerita yang sering kita dengar waktu kecil, dan sampai sekarang masih kita ingat, bahwa di kehidupan mendatang, yaitu alam akhirat, seleksi untuk bisa masuk Surga atau nerakanya Allah adalah, kita harus melewati “Jembatan Shirotol Mustaqiim” terlebih dahulu, yang berupa seutas rambut yang dibelah tujuh. Kita harus berjalan melewatinya, dan bila lolos sampai di ujung akhirnya, kita akan masuk Surga. Jika jatuh ketika melewatinya, maka itu berarti Neraka.

Disadari atau tidak, hidup kita di dunia sekarang ini juga sedang berjalan di atas “Jembatan Shirotol Mustaqiim”. Semua perilaku kita, bisa diibaratkan posisi kita. Jika dalam hidup kita selalu menjaga kebeningan hati ketika berlaku-tutur kata-pikir, maka insyaAllah kita akan selalu berada di atas “Jembatan” itu, alias di “Atas Garis”. Namun, jika kita melakukan semua hal yang bertentangan dengan nurani, hanya demi materi semata, maka sudah bisa dipastikan posisi kita ada di “Bawah Garis”.

Atau,

Lebih parah lagi, karena sekarang sangat banyak yang berposisi seperti ini. Berada di wilayah “Antara”/abu-abu, remang-remang, atau apalah sebutannya.

Berada di wilayah seperti itu, menyenangkan kelihatannya, tapi jelas kegelisahannya. Ia tahu bahwa itu salah, tapi dilakukannya juga. Atas nama harta, tahta, bahkan wanita (hayyah..)
Berada di area ini, hidupnya pasti sangat tersiksa, karena setiap waktu ia mendengar nurani dan nafsunya bersuara. Lihat saja orang-orang yang “terpaksa” melakukan korupsi, entah karena takut jabatannya hilang, atau takut istrinya meninggalkannya, wajahnya pasti sangat terlihat lelah. Ini karena ia tahu itu ditolak nuraninya, namun nafsunya mengalahkannya; dan kita semua tahu, atau bisa mengira-ngira, kalau di “Jembatan Shirotol Mustaqiim”, yang berada di wilayah “Antara” ini, seperti orang-orang yang jatuh, namun tetap “memaksa” masuk Surga dengan berpikir bahwa meniti rentangan tersebut dengan berpegang dengan tangannya. Adalah solusi untuknya. Kita semua tahu, kalau suatu benang/tali dibagi sampai beberapa kali, dan kemudian direntangkan dengan kuat, apa yang akan terjadi. Right, benang/tali itu akan menjadi sangat tegang dan pasti lebih tajam. Apalagi, ini rambut (jika mengacu pada ‘cerita’ di atas). Pasti sangat tegang dan sangat tajam. Jadi, bayangkan seperti apa orang-orang yang melewatinya dengan tangannya (analogi untuk akal-pikirnya sendiri, dan bukan berdasar hukumAllah).

So, apa simpulannya?

PERJELAS HIDUP ANDA!

Hidup ini adalah pilihan, dan kitalah yang bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang kita buat tersebut. Kita dilarang mempersalahkan orang lain, lingkungan, situasi/kondisi, dan semua hal di “luar” diri kita. Jika memang berkomitmen untuk berada di “Atas Garis”, maka Total/Kaffah-lah. Jika merasa bahwa di “Bawah garis” adalah pilihan yang akan diambil, maka silakan, tanggung resiko sendiri. Hanya, hindarkan wilayah “Antara”/abu-abu/remang-remang tadi, karena pasti sangat menyiksa Anda; dan jiwa yang tersiksa akan berimbas pada raga pula. Jika berada di “Bawah Garis” berarti sama sekali menolak mendengarkan nurani, atau malah telah membuang nuraninya jauh-jauh, maka berada di wilayah abu-abu seperti orang plin-plan yang bingung mau pulang ke mana. Dijamin Anda akan ambruk sebelum waktunya. Ini bukan doa, apalagi hujatan, ini hanya pengingat saja .



Setiap pilihan pasti mengandung resiko di dalamnya. So, pilihlah resiko yang menentramkan diri kita.

Saya sendiri, telah berkomitmen untuk: Kaya-Raya, Bahagia, dan Masuk Surga. Bukankah itu semua adalah Hidup Mulia? Dan saya telah memilih untuk hidup mulia, atau mati syahid ketika mengusahakan kemuliaan itu. Titik.

Bagaimana dengan Anda? Silakan dijawab sendiri, sesuai dengan hati nurani.

OK, semoga bisa mencerahkan Anda.

Wallahu a’lam bishowab.

Sukses Selalu!
Sri Vindhita



-Beberapa poin dalam tulisan ini dikutip langsung dari Pelatihan UTHB (Umat Terbaik Hidup Berkah). Penjelasan lengkap mengenai pelatihan dapat disimak di www.hidupberkah.com.
“Kehidupan Saya tidak akan pernah berubah menjadi lebih baik, selama Saya merasa tidak bertanggung jawab untuk memperbaikinya.” Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar